Agaknya pola film box office Indonesia yang mengangkat novel-novel
populer ke layar sinema kembali terulang. Film 5 cm karya sineas Rizal
Mantovani yang diangkat dari Novel berjudul sama besutan Donny
Dhirgantoro merajai bioskop – bioskop tanah air dan menyita perhatian di
akhir tahun 2012 ini. Peminat film ini memang membanjir, penulis
mengalaminya sendiri sampai hari ke 7 pemutaran film ini di BIP Bandung,
penonton tetap banyak dan kursi bioskop penuh. Rilis dari Soraya Film
selaku rumah produksi film ini menyatakan bahwa sampai hari kelima
pemutaran, penonton sudah mencapai lebih dari 500 ribu penonton. Rerata
penonton setiap harinya adalah 100 ribu penonton dimana film 5cm juga
memecahkan rekor dengan diputarnya film ini di 220 layar bioskop di
seluruh Indonesia.
[1]
Hal yang menggembirakan bahwasanya film ini disambut hangat khalayak
dan menandakan bahwa Indonesia masih memiliki film – film bermutu dan
penonton pun dipuaskan dengan film tersebut alih alih disajikan film
horror penuh adegan syur dan dibintangi oleh penyanyi dangdut yang
mendadak beralih profesi menjadi aktris atau aktris aktris baru nan
cantik dan menggoda. Bagi saya pencapaian film ini di akhir tahun sangat
layak untuk diapresiasi dan patut diacungi jempol.
Film ini secara garis besar menceritakan kisah persahabatan 5 insan
manusia dan segala dinamikanya. Persahabatan mereka selama
bertahun-tahun kemudian diakhiri sejenak dengan komitmen untuk jeda,
saling tidak bertemu selama beberapa bulan, kemudian di tanggal yang
sudah ditentukan, mereka berkumpul kembali dan bertualang bersama ke
Mahameru.
Secara sinematografis saya tak hendak mempertanyakan hasil karya
Rizal Mantovani, di mata saya film 5cm ini bagus. Pengambilan angle
lanskap Mahameru yang membuat hati berdesir, sekaligus footage-footage
yang membangkitkan hasrat kepetualangan menggelegak adalah sajian utama
yang membuat saya berdecak kagum. Selain itu, film ini juga dibumbui
dengan motivasi, pesan-pesan nasionalisme, perjuangan tanpa henti, kisah
persabahabatan yang menyentuh dan berakhir heroik di puncak Mahameru,
ditandai dengan upacara 17 Agustus di Puncak Mahameru dan disisipi
kata-kata heroik dari Genta, Zafran, Arial, Ian, Riani dan Dinda.
Namun di sisi lain ada yang menjadi pertanyaan saya, bukan masalah
filmnya tapi pengaruh film ini kepada khalayak. Dari pengalaman
meledaknya novel 5 cm sebelum film ini, cukup banyak yang terinspirasi
kemudian melakukan perjalanan menapaktilasi kisah-kisah film ini di
Mahameru, sampai ke puncak. Apabila ditambah dengan sajian – sajian
lanskap nan indah di layar sinema, maka lengkaplah dorongan untuk turut
serta menapaktilasi kisah di film ini, melakukan pendakian ke Mahameru.
Itu terwujud dari ramainya celetukan – celetukan di gedung bioskop,
remaja-remaja yang kagum dan berkata “waaaah..jadi pengin ke Semeru”
sampai-sampai keramaian di media sosial dengan nada yang sama, semua
ingin ke Semeru.
Film memang memiliki daya bius untuk mempersuasi orang banyak.
Kisahnya sudah lama, sejak zaman Perang Dunia dimana kedua kubu yang
saling bertikai menggunakan film untuk propaganda, sampai film superhero
terbaru Amerika dengan sisipan intrinsik tentang kedigdayaan Amerika,
biasanya dilatari dengan bendera Amerika yang berkibar heroik. Film
memiliki kekuatan besar untuk itu, dan disini saya melihat film 5 cm
sanggup membakar hasrat petualangan penontonnya.
Di satu sisi, film ini mendorong meningkatnya aktivitas pendakian
gunung. Bagus untuk mengundang khalayak menikmati keindahan negeri ini,
untuk mendorong orang agar lebih mencintai negeri ini dengan menyesap
keindahan sudut-sudutnya, menikmati langit biru, hamparan hijau hutan
bak permadani dan penduduknya yang murah senyum. Kemudian menyuguhkan
pesan-pesan bijak nasionalisme yang bertebaran sepanjang film. Walaupun
kadang pesan-pesan nasionalisme itu membuat saya tersenyum simpul karena
terasa sedikit berlebihan.
Namun di sisi lain, saya memendam kekhawatiran lain dari film ini.
Saya membayangkan bagaimana jika tiba-tiba ribuan, puluhan bahkan
ratusan ribu penonton film yang terbius keanggunan mahameru memutuskan
untuk naik ke mahameru? Apakah mereka sudah bersiap? Apakah Semeru dan
puncak Mahameru telah siap dibanjiri pengunjung? Apakah daya dukung alam
mahameru mampu menampung ledakan pengunjung yang terdorong ke Mahameru
setelah menonton film ini?
Banyak sekali hal yang bisa menjadi pemikiran setelah meledaknya film
ini. Dan bagi saya, film ini memiliki daya pikat, daya bius yang
dahsyat namun tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap angle lanskap
yang surgawi, menurut pendapat saya film ini memiliki beberapa
kekurangan, yaitu dengan kurangnya sisipan-sisipan tentang edukasi
aktivitas outdoor, terutama aktivitas pendakian gunung. Namun saya
mahfum dengan pembuat film ini, memasukkan berbagai macam detail dalam
film berdurasi 2 jam tentu bukan hal yang mudah. Bahkan menerjemahkan
sekian ratus halaman novel ke dalam film juga bukan perkara gampang.
Maka disini, saya juga tak elok jika membabi buta menyalahkan pembuat
film ini. Saya paham benar bahwasanya, sutradara sudah bekerja keras
untuk membuat film ini berjalan di alur yang sesuai dengan novelnya,
dengan pesan-pesan yang sama dengan yang dituliskan penulis novelnya.
Booming aktivitas outdoor akhir-akhir ini memang hebat, segala hal
bersifat petualangan, perjalanan dan purwarupanya menjadi hits. Demikian
halnya dengan film ini, muncul di momen yang pas dimana aktivitas
outdoor sedang populer. Namun demikian, tidak seyogyanya jika seorang
akan melaukan aktivitas outdoor tanpa persiapan, tanpa riset dan tanpa
etika. Itulah mengapa saya menekankan ketiga hal tersebut dalam tulisan
ini. Agar jika memang sudah menonton film 5 cm, penonton yang terdorong
naik gunung tidak serta merta serampangan lalu naik gunung dan
menahbiskan diri menjadi seorang pecinta alam. Ada banyak hal yang perlu
dipelajari sebelum melakukan itu semua.
–
Mahameru, setting utama film ini adalah bagian dari Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Statusnya adalah gunung tertinggi di
dataran jawa dan sudah sekian lama menjadi destinasi favorit para
pendaki gunung, seakan belum sah menjadi pendaki gunung jika belum
mencapai puncak mahameru. Puncak ini pula yang menyambut seorang Soe Hok
Gie ke dalam keabadian.
Mengingat status Mahameru yang merupakan bagian Taman Nasional, maka
setiap pengunjung yang memasuki kawasan Taman Nasional harus mengikuti
aturan Taman Nasional. Ada izin masuk, wajib mencatatkan diri dan
mengikuti batasan – batasan dari Taman Nasional. Setelah itu anda boleh
melenggang masuk ke kawasan. Namun perlu diingat, salah satu fungsi
Taman Nasional adalah fungsi konservasi dan oleh sebab itulah pengunjung
harus mengingat hal ini, dan turut menjaga kelestariannya.
Tentu kita tidak ingin kasus pendakian massal bertajuk bersih gunung
yang dilakukan oleh salah satu produsen alat outdoor dan mengundang
mantan presenter acara jalan-jalan beberapa bulan lalu terulang kembali.
Kala itu ada 1697 pendaki mengikuti acara ini, belum ditambah pendaki
independen yang mungkin jumlahnya mencapai hampir 2000 pendaki. Menurut
laporan beberapa kawan yang pada saat bersamaan kebetulan ikut mendaki,
acara tersebut meninggalkan masalah berupa sampah yang menggunung.
[2]
Pengunjung yang overload itu sebenarnya pangkal masalahnya, padahal
menurut aturan pos pendakian Ranu Pani. Batasan kapasitas pendaki
hanyalah 600 orang. Yang terjadi adalah kekisruhan, tinggalan berupa
sampah yang menggunung dan ekosistem yang bisa jadi terganggu karena
kapasitas pengunjung yang berlebih. Hal ini patut menjadi catatan
sebelum melakukan pendakian, karena aktivitas yang dilakukan bisa jadi
justru mengganggu keseimbangan alam dan hal ini pun bertentangan dengan
Kode Etik Pecinta Alam Indonesia yang dirumuskan bersama dalam Gladian
Nasional Pecinta Alam IV di Sulawesi Selatan.
Berkaca dari kasus tersebut, patutlah kita berpikir, khawatir dengan
nasib semeru setelah booming film 5 cm. Akankah mengalami lonjakan
pengunjung? Jika dikira-kira katakanlah 10 % penonton 5 cm tertarik
mendaki semeru, maka jika dari hitungan penonton di 5 hari pertama tadi
akan ada 50.000 orang mendaki sampai puncak Mahameru. Dari jumlah itu,
berapa pendaki yang berpengalaman? Berapa pendaki yang memiliki tekhnik
dan komitmen menghargai alam? Dibandingkan dengan pendaki yang serta
merta mendaki seusai menonton film ini?
Lalu jika dikembalikan lagi ke kondisi Semeru, apakah daya dukung
Semeru siap untuk menerima lonjakan pengunjung sebanyak itu? Walaupun
sudah dibatasi dengan aturan dan menempatkan para ranger / jagawana pun.
Saya kira tidak akan maksimal karena jumlah mereka yang terbatas
sementara cakupan wilayah kerjanya sangat luas. Jika ledakan pengunjung
tersebut benar-benar terjadi. Saya rasa kita pantas serius untuk
khawatir dengan nasib Semeru.
Mendaki sampai puncak Mahameru bukan pendakian sembarangan, butuh
planning yang panjang. Di jaman saya masih mengikuti kegiatan pendakian
beberapa tahun yang lalu, disarankan agar pemanasan mendaki
gunung-gunung yang pendek sebelum mendaki Semeru. Selain sebagai latihan
hal itu juga untuk membiasakan dengan kondisi di gunung.
Itulah mengapa saya dibuat terheran-heran dengan paparan di film 5
cm. Pada cerita di film, Genta mengabarkan bahwa tanggal 7 Agustus lalu
berangkat tanggal 14 Agustus. Apakah waktu 7 hari cukup untuk
melaksanakan pendakian? Karena di film mereka semua pendaki pemula,
bahkan Ian mengaku hanya sekali latihan fisik, lari-lari kecil sebelum
pendakian. Mungkin bagi seorang pendaki senior dan kenyang pengalaman,
itu bisa saja. Tapi bagi para pendaki pemula yang belum pernah melakukan
pendakian sebelumnya? Cukupkah waktu 7 hari untuk melakukan persiapan
sampai dengan pendakian?
Menurut Norman Edwin, salah satu pendaki gunung legendaris indonesia
yang gugur saat mencoba menaklukkan Puncak Aconcagua, persiapan itu
elemen sangat vital dalam sebuah pendakian. 30 tahun yang lalu Norman
Edwin sudah mengingatkan pentingnya persiapan, hal itu didasari
banyaknya kecelakaan di gunung karena ketidaksiapan perlengkapan,
cenderung memandang enteng naik gunung dan miskinnya pengalaman di
gunung. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya musibah di gunung yang tak
jarang mendatangkan kematian.
Seperti kasus yang terjadi baru-baru ini, Muhammad Firas Awaludin
seorang pendaki pemula dan baru pertama kali mendaki gunung tersebut
tersesat dan hilang saat turun dari puncak Mahameru. Beruntung Firas
memiliki mental yang kuat dan berhasil menjadi seorang survivor. Dari
peristiwa di tersebut ada beberapa poin penting untuk tidak mengabaikan
persiapan untuk meminimalkan resiko di gunung, kemudian turuti aturan
yang berlaku di gunung. Karena sebenarnya pada saat peristiwa hilangnya
Firas, pihak TNBTS melarang pendaki untuk menggapai puncak Semeru,
pendakian hanya diizinkan sampai Kalimati. Namun yang terjadi adalah
aturan dilanggar, pendaki tetap mendaki sampai puncak.
[3]
Pihak TNBTS sebenarnya sudah memberikan peringatan, namun karena
terbatasnya SDM maka pengawasannya tidak bisa maksimal. Oleh sebab itu
setiap pendaki harus memiliki kontrol diri, dan taat aturan. Catatan
resmi pihak TNBTS memberi fakta bahwa mayoritas kecelakaan yang terjadi
di Semeru adalah abainya para pendaki dengan aturan yang sudah
ditetapkan. Kemudian hal yang kedua adalah minimnya persiapan. Para
pendaki pemula tidak melengkapi diri dengan informasi yang lengkap
seperti peta dan karakter taman nasional, sehingga mereka melakukan
pendakian dengan modal nekat dan semangat.
[4]
Catatan kecil dari film 5 cm menunjukkan kenyataan yang dipaparkan
oleh pihak TNBTS, di film mereka mendaki tanpa bantuan peta, ataupun
alat navigasi lain sehingga seolah membuktikan data dari TNBTS bahwa
mereka berlima mendaki hanya bermodal semangat. Hal ini tidak boleh
dicontoh, peta atau jaman sekarang sudah ada GPS adalah alat yang sangat
penting dalam aktivitas pendakian. Bagaimana seorang pendaki bisa
menentukan orientasi arah dan jarak jika mereka tidak membekali diri
dengan alat navigasi?
Kekhawatiran berikutnya adalah bagaimana jika penonton kemudian
mencontoh gaya naik gunung para pemeran film 5 cm tersebut. Yang perlu
kita ketahui bersama adalah dalam film, semua itu sudah dipoles
sedemikian rupa agar terlihat indah. Dan kenyataan di lapangan tidaklah
seperti itu, lebih pahit dan getir dibandingkan dengan keindahan yang
menakjubkan di layar sinema.
Anda tidak akan menemukan pendaki dengan celana jeans ketat model
pensil seperti yang dipakai oleh Riani dan Dinda atau memakai denim agar
terkesan maskulin seperti yang dipakai Genta. Saya tidak menyarankan
seorang pendaki memakai jeans saat mendaki gunung seperti yang para
pemeran 5 cm pakai. Ya, tentunya mereka ber-jeans karena tuntutan peran
dan sudah diatur sedemikian rupa oleh sang penata busana. Walaupun
sebenarnya hal itu bisa diperbaiki sebelumnya, karena detail kecil pun
bisa jadi perhatian orang.
Apa pasal tidak disarankan memakai jeans / denim saat mendaki
gunung? Seperti pemaparan Norman Edwin berikut, jeans justru cenderung
akan membahayakan saat di gunung. Memang benar bahan jeans kuat dan
tahan robek namun justru jenas ini akan memberatkan saat dipakai
mendaki. Selain itu karakteristik jeans adalah susah kering saat terkena
air dan beratnya menjadi 2 kali lipat saat basah. Hal ini akan membuat
tubuh cepat dingin dan berujung pada hipotermia. Efek buruk jeans
selanjutnya adalah bisa membuat selangkangan terluka karena
gesekan-gesekan pada kulit, apalagi jeans ketat seperti yang dipakai
Riani dan Dinda. Yang benar adalah gunakan celana outdoor yang sekarang
sudah sangat banyak pilihannya di pasaran.
Memang tampaknya detail-detail di 5 cm agaknya kurang diperhatikan.
Tampaknya mungkin sepele, tapi sebenarnya bisa jadi kekurangan yang
cukup fatal dan mengganggu. Kemudian sisipan edukasi di film ini masih
sedikit, kalah dengan sisipan iklan dari sponsor. Tonjolan keindahan
terasa ditawarkan dari awal sampai akhir, dan memang sepertinya inilah
yang dijadikan daya bius film 5 cm, membuai penonton dengan
keindahan-keindahan dari awal hingga akhir film.
Mungkin memang masih selera pasar segala sesuatu yang menonjolkan
keindahan, kebersamaan dan kegembiraan. Padahal jika melihat film-film
dari sineas Hollywood dengan tema persahabatan petualangan atau alam,
kita bisa belajar hal-hal berkaitan aktivitas outdoor, menikmati
keindahan alam sekaligus merasakan kegetiran dan beratnya hidup di alam.
Pun kita tidak terganggu dengan detail-detail yang keliru karena
tampaknya sineas Hollywood merencanakan dengan cermat sampai detail
terkecil.
Beberapa film yang saya maksud adalah Into The Wild, The Wayback dan
127 Hours. Ketiga film tersebut menyajikan potongan – potongan scene
lanskap yang memukau. Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil, pada
Into The Wild bisa belajar untuk menikmati perjalanan dan jangan berbuat
kesalahan, karena akhir film ini cukup tragis. Pada The Wayback bisa
mengamati cara survival berhari-hari di alam bebas dan tertautnya
persahabatan antar interniran lintas bangsa selama pelarian mereka yang
sungguh membuat terharu. Pada 127 Hours bisa dipelajari cara bertahan
saat terjepit (dalam arti sebenarnya) dan keputusan-keputusan yang harus
dibuat terkadang sangat pahit jika dihadapkan pada kondisi berbahaya di
alam bebas. Tanpa bermaksud membandingkan lebih jauh, agaknya ke
depannya perlu ada film yang menyajikan pahit getir kehidupan di alam
bebas, agar penonton disuguhkan kondisi nyata di lapangan dan tidak
melulu dibombardir dengan scene lanskapis nan aduhai.
Dari dalam negeri sendiri sebenarnya sudah ada film yang menyajikan
kegiatan pendakian dengan cukup detail. Saya ingat dulu pernah tayang
film bertema gunung yaitu film Pencarian Terakhir, yang dibintangi
Lukman Sardi dan Rischa Novisha. Film ini bagi saya cukup menggambarkan
kondisi di gunung karena ceritanya yang menceritakan hilangnya seorang
pendaki di Gunung. Untuk bahan pembelajaran, film ini cukup bagus karena
cukup detail menggambarkan proses kegiatan pendakian. Kekurangan film
ini hanya satu, tidak cukup popular seperti film 5 cm.
Atas efek 5 cm yang memiliki daya persuasi tinggi untuk mendorong
penonton melakukan aktivitas di gunung, ada banyak sekali hal yang perlu
dipirkan. Gampangnya adalah dengan melakukan banyak riset dan
persiapan. Aktivitas pendakian bukan hal remeh temeh, beraktivitas di
alam bebas dalam waktu berhari-hari pasti menguras tenaga, menguras
pikiran dan membutuhkan persiapan yang panjang. Mau tidak mau, harus
disikapi dengan serius bukan semata terdorong oleh euforia seusai
menonton film tersebut di layar sinema.
–
Mau tidak mau, cepat atau lambat pasti akan terjadi penambahan
jumlah pendaki di Semeru. Bisa jadi salah satunya adalah karena film 5
cm ini dan kecenderungan ini memang sudah tampak. Dunia petualangan dan
perjalanan di Indonesia juga sedang gegap gempita akhir-akhir ini,
sehingga fenomena ini harus dipikirkan baik-baik.
28 tahun yang lalu gejala ini sebenarnya sudah muncul dan dicatat
dengan cukup kritis oleh Norman Edwin dalam tulisan-tulisannya. 28 tahun
yang lalu kegiatan mendaki gunung juga sedang menjamur, sejarah
berulang sekarang. Tetapi Norman mencatat bahwa kala itu kegiatan
pendakian dianggap sebagai kegiatan pelesiran yang tidak memerlukan
persiapan matang. Kemudian ditambah sikap memandang enteng yang bisa
jadi didorong perasaan ingin tampak gagah.
Gejala-gejala seperti itu harus dihilangkan, menurut Norman kegiatan
mendaki gunung bukanlah pelesiran, namun olahraga yang berlangsung lama
dan menghabiskan energi besar. Sehingga perlu latihan fisik dan
persiapan yang benar-benar matang. Hal ini untuk meminimalkan resiko
yang terjadi di alam bebas dan menjamin keberhasilan mendaki gunung.
Perlengkapan, keterampilan / tekhnik serta fisik adalah hal-hal paling
penting dalam pendakian, selain itu kemampuan mengukur diri sendiri dan
pengendalian nafsu adalah hal selanjutnya. Agar tidak terserang perasaan
megalomania yang berujung celaka saat di gunung.
Memang, pendakian sedang trend dan berkesan gagah. Namun dibalik itu
semua, aktivitas ini mengandung resiko yang besar dan tidak boleh
dipandang enteng. Oleh sebab itu, sebaiknya para penonton 5 cm jangan
mencerna mentah-mentah pesan di film tersebut. Lakukan persiapan yang
cukup sebelum memutuskan untuk mengikuti jejak film 5 cm yaitu mendaki
Semeru.
Jangan memaksakan jika memang tidak kuat karena persahabatan tidak
melulu harus diwujudkan dengan mendaki gunung bersama, nasionalisme
tidak melulu ditampilkan dengan menikmati pemandangan lanskap memukau.
Hal-hal diatas setidaknya menjadi catatan dan perlu digaris bawahi.
Perlu latihan dan persiapan, perlu tekhnik yang harus dipelajari dan
fisik yang kuat.
5 cm adalah polesan, dan di dunia nyata ada banyak hal yang berbeda
dengan yang disajikan di film. Bukan kesalahan jika terpengaruh film 5
cm, namun akan salah jika serta merta mengikuti apa yang tersaji di film
tanpa persiapan yang matang. Konklusi akhirnya adalah : nikmati
filmnya, lestarikan alamnya, dan lakukan persiapan sebelum menikmati
keindahannya.
“Getting to the top is optional. Getting down is mandatory.”